Sabtu, 24 Januari 2015

[Dapur Uyung] Resep Udang Pedas Manis



Memiliki separuh darah dari leluhur Minang membuat q terbiasa dengan masakan pedas dengan cabe merah membara sedari kecil. Sementara memiliki separuh jiwa dari Sunda membuat q membiasakan diri dengan masakan yang cenderung manis, karena melihat sambel berwarna merah garang cukup menyurutkan niat Ayang menyendokkan lauk banyak-banyak, serem katanya :). Nah, siapa sangka rasa pedas dan manis jika dikombinasikan bisa menjadi santapan yang lezat dan bikin ketagihan? Berikut adalah resep udang pedas manis yang sukses membuat penyantapnya berseru "Sedddaaapp!" kala memakannya.
Udang pedas manis
Bahan-bahan:
1/2 kg udang ukuran sedang, kupas kulit dan kepalanya
1/2 buah bawang bombay, iris melintang
2 siung bawang putih, cincang halus
1/2 sachet saus tiram
1 sdm kecap manis
3 sdm saus sambal botolan
1/2 buah jeruk nipis
gula, garam, dan merica secukupnya
air secukupnya
minyak untuk menumis

Cara membuat:
1. Lumuri udang dengan jeruk nipis dan garam, diamkan 15 menit.
2. Tumis bawang bombay dan bawang putih hingga harum. Masukkan udang, masak hingga udang berubah warna.
3. Tambahkan saus tiram, kecap manis, saus sambal, gula dan garam. Jika tumisan agak kering, tambahkan sedikit air. Masak hingga kuah udang sedikit mengental. Matikan api dan sajikan. Selamat mencoba!

Jumat, 28 November 2014

[Dapur Uyung] Godokan Jahe dan Rempah

Terpikir mau bikin godokan jahe setelah ngeliat ayang capek banget sepulang Dinamika. Mana seharian kudu teriak-teriak ke maba-miba. Supaya tenggorokan hangat dan badan segar, dibuatlah resep ini.


Bahan-bahan:
1 rimpang jahe ukuran sedang
3 batang serai
2 helai daun pandan
2 batang kayu manis
2 buah cengkeh
200 gram gula merah
750 ml air
gula pasir secukupnya (optional)

Cara membuat:
1. Bakar jahe hingga harum, kupas kulitnya, lalu geprek. Cuci bersih serai lalu geprek.
2. Masak gula merah dan air hingga mendidih. Saring lalu didihkan lagi. Tambahkan gula pasir bila dirasa kurang manis. Masukkan jahe, serai, daun pandan, kayu manis, dan cengkeh. Tunggu hingga mendidih kembali.
3. Saring lalu sajikan hangat-hangat.

Godokan ini pas banget untuk menghangatkan badan. Mata langsung melek, kata ayang. Tenggorokan juga terasa hangat. Selamat mencoba.

[Dapur Uyung] Resep Bubur Candil

Yak, ini resep yang sudah lamaaa pengen dipraktekin, karena Ayang suka banget beli bubur candil buat buka puasa bulan Ramadhan. Yuk dicek resepnya:


Bahan-bahan:
200 gram tepung tapioka
3 buah ubi jalar ukuran sedang
150 gram gula merah, sisir
65 ml santan instan (di resep ini pake santan Sun Kara ukuran kecil)
3 helai daun pandan
2 sdm tepung tapioka, larutkan dengan sedikit air
1/2 sdt garam
200 ml air untuk saus santan
500 ml air untuk memasak gula merah

Cara membuat:
1. Buat saus santan, dengan cara mencampurkan santan instan dengan air. Masak dengan api kecil, masukkan sehelai daun pandan dan garam, tunggu hingga mendidih, sisihkan.
2. Potong-potong dan kukus ubi jalar hingga matang. Haluskan sampai membentuk adonan yang mulus. Boleh pake masher atau gelas seperti yang dipraktekkan untuk resep ini. :)
3. Campurkan ubi halus dan tepung tapioka. Uleni hingga kalis dan bentuk bulat-bulat kecil.
4. Masak gula merah dan air sampai mendidih, saring dan masak kembali. Jangan lupa beri 2 helai daun pandan supaya wangi, setelah mendidih, buang daun pandannya. Masukkan adonan ubi, tunggu hingga semua adonan mengapung.
5. Masukkan larutan tepung tapioka. Aduk hingga mengental.
6. Sajikan bubur candil dengan saus santannya.

Bola-bola ubinya langsung lumer di lidah. Yummy banget. Dimasak sekuali penuh, ini ayang semua yang ngabisin, karena aq gak terlalu suka makanan manis. Selamat mencoba.

[Dapur Uyung] Resep Donat Kentang

Ayang n aq sukaaa banget sama cemilan manis mengenyangkan ini, donat. Tapi setelah aq sakit tenggorokan pasca makan donat pinggir jalan (curiga gulanya dicampur sari manis), akhirnya diputuskan untuk bikin donat sendiri di rumah. Ini resepnya:



Bahan-bahan:
500 gram tepung terigu protein tinggi (Cakra Kembar)
2 sachet susu bubuk (di resep ini pake susu Dancow)
1 sachet ragi instan (merk Fermipan)
100 gram gula pasir
1/2 sdt garam
75 gram margarin (di resep ini pake Blueband Cake and Cookies)
3 buah kentang ukuran sedang
4 butir kuning telur
100 ml air dingin
milk cooking chocolate secukupnya (merk Collata), tim sampai coklatnya lumer
minyak untuk menggoreng

Cara membuat:
1. Kukus kentang hingga matang, haluskan (berhubung gak punya masher, jadilah pake gelas buat nimpuk-nimpuk kentang sampai halus). Teksturnya harus benar-benar halus dan tidak berbutir-butir agar donatnya mulus. Lalu dinginkan sampai tidak panas di tangan.
2. Campur terigu, ragi instan, susu bubuk, dan gula pasir, aduk rata. Masukkan kentang halus, telur, dan air dingin. Uleni sampai adonan agak kalis.
3. Masukkan margarin dan garam. Uleni terus sampai adonan kalis dan elastis. (ini proses yang memakan tenaga dan berbuah omelan, saking beratnya itu adonan, berotot ini tangan). Istirahatkan adonan 15 menit.
4. Bagi adonan dalam bentuk bulat. Taruh di piring/loyang/nampan yang sudah ditabur tepung. Beri jarak antar adonan. Diamkan 20 menit hingga mengembang.
4. Lubangi tengahnya dan bentuk menjadi donat. Oya, melubangi donatnya bisa manual, adonan dibentuk bulat dan dilubangi dengan jari. Supaya bentuknya tetap bulat, saat digoreng, gunakan sumpit untuk memutar-mutar bagian tengah donat sampai bentuknya bulat sempurna. Goreng hingga kuning kecoklatan. Angkat dan tiriskan. 
5. Celupkan bagian atas donat ke dalam coklat yang sudah ditim. Donat siap disajikan.

Di foto ada donat bulat isi coklat. Ini modifikasi adonan aja, dari yang donatnya dicelup coklat menjadi donat yang tengahnya dikasih coklat. Caranya mudah. Potong coklat kecil-kecil dan masukkan ke dalam adonan. Bentuk adonan menjadi bulat dan goreng. Kedua jenis donat ini yummy dan lembuuuuutt banget. Karena bikinnya kebanyakan, jadi ada sisa. Keesokan harinya ternyata donat tetap lembut dan nggak keras. Gak nyangka bisa juga bikin donat selembut ini, hehehe. Selamat mencoba.


Rabu, 26 November 2014

[Edisi Cerpen] Sunny

Tak percaya. Itulah yang Mommy rasakan saat pertama kali mengetahui kehadiranmu. Beberapa kali pun Mommy mengucek-ngucek mata, tetap belum bisa mempercayai penglihatan Mommy atas stik bergaris dua itu. Bergegas Mommy membangunkan Daddy-mu. Dengan mata mengantuknya ia mengerjap-ngerjap dan seketika membelalak. Ia pun memeluk Mommy dan mengucap syukur berulang kali lalu tetesan air mata mengaliri pipi kami berdua. Begitu bahagianya kami saat kau memberikan isyarat keberadaanmu lewat stik tipis itu.

Lalu dimulailah hari-hari penuh warna dan cerita. Bulan-bulan awal yang berat, saat Mommy memuntahkan setiap makanan yang masuk ke dalam perut, kecuali jeruk, buah yang nantinya sangat kau suka. Bulan-bulan berikutnya yang Mommy dan Daddy lalui dengan perasaan amazing, melihat begitu mempesonanya kau tumbuh di dalam rahim Mommy. Kemudian bulan-bulan terakhir di mana Mommy mulai berlatih senam dan pernapasan agar dapat mempersiapkan kelahiranmu dengan paripurna.

Mommy ingat betapa tegangnya wajah Daddy saat menemani Mommy di kamar bersalin. Sementara Mommy berusaha menikmati setiap kontraksi yang terjadi. Delapan jam sejak Mommy tiba di rumah sakit, kau pun lahir diiringi tangisan super kencang. Saat menerimamu dalam rengkuhan, Mommy terbayang masa-masa menunggu kehadiranmu, enam tahun, dan tanpa terduga dirimu hadir di ujung masa penantian itu. Tak henti Mommy mengucapkan syukur.

Daddy dan Mommy sepakat memberimu nama Sunny, karena kau adalah matahari yang menjadi penerang kehidupan kami. Mommy pun ingin mengurusmu dengan tangan Mommy sendiri, sehingga Mommy rela meninggalkan pekerjaan Mommy. Mommy ingin menyaksikan segala tingkah lucumu, langkah pertamamu, dan tawa lepasmu yang membuat Mommy bersedia menukar semua yang ada di dunia demi kebahagiaanmu. Daddy juga tak mau ketinggalan. Dialah yang senantiasa siap sedia mengganti popokmu di malam hari, menemanimu mengapung di kolam renang kecil dan menjadi yang pertama cemas saat kau sakit.

Tak terasa kau hampir berusia empat tahun sekarang, dengan poni dan rambut kuncir dua yang membuat setiap orang yang melihat tak tahan untuk mencolek pipimu gemas. Kau pun semakin pintar dan tertarik pada banyak hal. Kemudian sampailah kita pada hari itu.

Seperti biasa, siang ini Mommy akan mengantarmu ke kelas gym anak di sebuah pusat perbelanjaan. Sejak pagi kau sudah melompat-lompat riang dengan rok tutu dan legging mungilmu. Dengan celoteh ramai kau ikut masuk ke dalam mobil dan tak protes saat Mommy memasangkan sabuk pengaman padamu. Sepanjang perjalanan kita bernyanyi bersama dan tak sedikitpun ada firasat dalam hati Mommy bahwa saat itu kecelakaan menimpa kita.

Mommy terbangun di sebuah kamar dengan gorden putih bersih dan langsung teringat dirimu. Daddy menenangkan Mommy dan berkata kau baik-baik saja. Mommy berkeras ingin menemuimu tetapi saat hendak bangun, Mommy terhuyung-huyung hendak pingsan lagi, dan Daddy meminta Mommy untuk kembali beristirahat.

Kau sudah dibawa pulang ke rumah, kata Daddy, maka Mommy pun berusaha keras untuk segera sembuh dan kembali menemanimu bermain. Saat tiba di rumah, Mommy langsung menuju kamarmu. Ternyata kau sedang bermain di tempat tidur bersama boneka Hello Kitty kesayanganmu. Mommy langsung menghambur memelukmu lalu memeriksa sekujur tubuhmu, mencoba mencari adakah bekas luka atau memar akibat kecelakaan itu. Mommy bersyukur karena kau terlihat sehat dan ceria seperti biasa. Bertubi-tubi Mommy menghujanimu dengan ciuman sambil meminta maaf karena beberapa hari tak bertemu. Lalu kau mengucapkan kata-kata penghiburan dengan bahasa cadelmu dan mengajak Mommy bermain bersama.

Sejak saat itu Mommy bertekad takkan meninggalkanmu walau semenit saja. Daddy sempat meminta Mommy untuk keluar dari kamarmu dan makan di ruang tengah, tetapi tidak, lebih menyenangkan di sini bersamamu dan kita saling menyuapkan makanan berdua. Mommy juga senang membelai rambutmu sebelum tidur dan membacakanmu cerita. Tak ada yang bisa memisahkan kita berdua.

Suatu hari Daddy melihat kebersamaan kita berdua. Namun ia tak beranjak dari pintu kamarmu yang terbuka meskipun kau sudah memanggilnya. Mommy pun menegur Daddy, lalu Daddy mendekat, ia menarik tangan Mommy dan meminta Mommy beristirahat. Mommy berkeras ingin menemanimu di sini, terlebih kau sedang minta rambutmu disisir dan dikuncir dua. Mommy mengatakan pada Daddy bahwa Mommy belum dan tak akan pernah lelah menemanimu, jadi Mommy belum ingin beristirahat. Daddy menyerah dan menutup pintu kamarmu saat ia keluar.

Ketika itu Mommy terbangun tengah malam karena Mommy tak ingat apakah sudah membacakan cerita sebelum tidur padamu atau belum. Betapa terkejutnya Mommy saat menyadari Mommy berada di kamar Mommy yang biasa, bukan di kamarmu, bukan di sebelahmu. Dengan tergesa-gesa Mommy membuka pintu kamarmu, kau masih tidur dengan memeluk teman-teman bonekamu. Namun tiba-tiba Daddy memegang lengan Mommy dan tak mengizinkan Mommy masuk ke kamarmu. Mommy heran, bagaimana Daddy bisa melarang Mommy menemanimu tidur. Apakah Daddy merasa diabaikan karena kita seharian selalu bersama? Air mata Daddy mengalir di pipinya. Ia memohon agar Mommy kembali ke kamar kami dan beristirahat. Mommy menolak dan mengibaskan tangan Mommy sampai terlepas, lalu mendekatimu di tempat tidur.

“Sunny sudah tiada, Ris. Sunny sudah nggak ada..” lirih Daddy berkata. Mommy menoleh ke arahnya dan mengernyit, apa maksud perkataan Daddy, bukankah kau masih berguling di tempat tidurmu. Mommy membelai pipimu dan berkata, “Ssst, Sunny sedang tidur, Mas. Tolong dipelankan suaranya.”

Daddy lalu berlutut di hadapan Mommy. Ia memegang kedua tangan Mommy. Masih dengan air mata di wajahnya, ia berkata, kali ini dengan sedikit tegas, “ Ris, Sunny putri kita sudah meninggal. Dia sudah kembali ke sisi Tuhan. Kecelakaan itu..” Daddy tiba-tiba tercekat dan tak bisa melanjutkan kalimatnya. Rasa dingin langsung menjalar di sekujur tubuh Mommy. Kecelakaan? Kau sudah tiada? Mommy kembali menoleh padamu, kau masih tidur, matamu bergerak-gerak seperti sedang bermimpi. Mommy menggeleng-geleng, apa maksud Daddy, putri semata wayangnya masih ada di sini, di kamar ini, tidur pulas seperti bayi. Bukankah setelah kecelakaan itu kau sehat-sehat saja, sayang?

Daddy mengusap pipi Mommy dan mengajak Mommy keluar, Mommy kembali menolak. “Sunny ada di sini, Mas. Dia sedang tidur, dia sehat-sehat saja. Mas jangan bilang yang aneh-aneh.” Mommy menoleh lagi ke arahmu, tetapi kau tak di sana. Mommy langsung berdiri, memandang berkeliling, apa kau tiba-tiba bangun? Apa kau tiba-tiba jatuh dari tempat tidur? Mommy memutari tempat tidurmu, melongok ke kolong, mencari-cari tubuh mungilmu, memanggil-manggil namamu. Daddy memeluk Mommy dan Mommy langsung berontak, Mommy ingin mencarimu, kau di mana? “Sunny sudah tiada, Ris..” kembali Daddy berkata sedih. Seketika tubuh Mommy limbung, timbul kilasan-kilasan peristiwa di hadapan Mommy, peristiwa kecelakaan itu. Kesadaran Mommy mendadak hilang, beserta kilasan wajahmu dan senyum ceriamu.

Tangsel, 26 November 2014, 15.11

Rabu, 22 Oktober 2014

[Edisi Cerpen] Hidayah Pertamaku

Sebuah cerpen yang sudah lamaaaaa sekali q tulis. Berdasarkan kisah nyata dan pernah diikutsertakan dalam lomba penulisan cerpen Tahun Baru Hijriyah. Semoga bisa memberikan hikmah dan menjadi perantara q bersyukur atas hidayah yang telah dikaruniakan Alloh kepada q.

HIDAYAH PERTAMAKU

            Deru motor ayahku terdengar berbaur dalam kungkungan angkot dan kendaraan pribadi yang melaju di jalan sempit ini. Dengan lincah, ayah meliuk-liukkan motornya di celah antarkendaraan. Selang beberapa menit, kami berhenti. Aku menapak turun dari motor. Setelah mencium tangan ayah dan mendengarkan kalimat “jangan nakal di sekolah”-nya sebentar, aku mulai melangkah menuju halaman yang dilatarbelakangi oleh sebuah gerbang. Langkahku semakin ringan dan gerbang itu seolah membuka untukku. Yah, inilah hari pertamaku menjadi siswi SLTP. Sebuah SLTP yang menjadi incaran sejak aku bersekolah di SD dulu...
            Aku melewati gerbang sembari tersenyum. Ku edarkan pandangan kepada ratusan siswa yang “bertebaran” di sekitar lapangan. Salam kenal, teman-teman baru, sapaku dalam hati. Aku lalu menuju papan pengumuman besar yang dikerubungi murid-murid. Papan pengumuman itu berdiri di depan ruangan yang pastilah merupakan ruang guru, dengan kursi-kursi dan meja-meja kayu yang saling berdempetan. Lembar-lembar kertas pembagian kelas sudah tertempel di papan hitam itu dan aku harus mendongak untuk membacanya. Yah, dengan tubuhku yang mungil ini dan kerumunan siswa di sekelilingku, aku memang perlu menengadahkan kepala, sambil berjinjit kalau perlu.
            Bingung memelototi nama-nama yang berbaris seperti semut itu, aku pun berpaling pada kertas lain yang tertempel di sebelahnya. Daftar peringkat NEM tertinggi yang diterima si SLTP bla...bla...bla..., bunyi judul di atasnya. Urutan pertama 45, 25 dan 0, 20 poin di bawahnya, tertera namaku di peringkat kedua. Ah, seandainya saja nilai itu sama dengan NEM bayanganku saat cawu dua kelas enam SD dulu, tentu akulah yang akan menduduki posisi pertama itu, dengan kelebihan beberapa desimal poin. Tiga orang anak di sebelahku sedang menunjuk-nunjuk kertas itu dengan decak kagum karena nilai ebtanas yang tertera di sana. Untuk sesaat, aku bangga karena orang yang namanya mereka tunjuk itu adalah diriku. Dan itulah kebanggaan pertamaku di sekolah ini.
            Kebanggaan keduaku terjadi pada saat perkenalan diri di kelas. Ketika aku menyebutkan namaku, kulihat  beberapa anak merapatkan kepala dan berbisik-bisik. Ah, tentu mereka sekarang tahu bahwa akulah si peringkat kedua itu. Dengan sangat percaya diri, aku kembali ke mejaku yang harus kubagi berdua dengan seorang anak perempuan yang baru beberapa hari kukenal. Selang beberapa saat, seorang cewek ABG bertubuh jangkung maju untuk berkenalan dengan seluruh penghuni kelas. Dari namanya, aku tahu dialah sang nomor satu itu. Kudengar bisik-bisik yang lebih keras dari sekitarku. Ia pun kembali ke bangkunya di belakang dengan diiringi tatapan mata anak-anak di kelas, termasuk aku. Satu persatu, aku melihat anak-anak lain peraih sepuluh besar NEM tertinggi maju berkenalan. Nyatalah bagiku, kelas 1.4 ini adalah kelas unggulan, kelas pilihan. Ini bisa terlihat dari banyaknya calon saingan yang nantinya pasti akan menghalangi langkahku untuk merebut posisi teratas di kelas bahkan di seluruh kelas satu.
            Ah, menjadi nomor satu adalah hal yang sudah tertanam dalam pikiranku sejak menginjak bangku sekolah. Kedudukanku sebagai anak pertama dalam keluarga, yang lebih didahulukan kepentingannya, menjadi akar obsesiku. Yah, itu adalah obsesiku, umm... obsesi orang tuaku juga sebetulnya, karena sejak balita aku sudah dididik dengan keras sehingga aku bahkan sudah lancar membaca koran sebelum duduk di kelas satu SD. Kecenderunganku untuk menjadi favorit guru membuatku semakin nyaman berada di sekolah, bahkan dulu aku pernah diminta menjadi asisten guruku untuk mengajar teman-teman yang lain mengeja kata-kata di papan tulis, padahal saat itu umurku baru tujuh tahun. Predikat juara satu setiap caturwulan selama enam tahun pendidikanku di sekolah dasar membuatku merasa lebih superior daripada yang lain.
            Oh ya, belum kukatakan bahwa aku benci dinomorduakan. Begitu bencinya sampai aku hampir-hampir tak akan bisa menerima sebuah kekalahan. Dan kini, aku tidak terima dijadikan peringkat kedua walaupun itu hanya tertera di sebuah kertas pengumuman. Sudah saaatnya bagiku untuk menunjukkan bahwa aku memang punya kemampuan lebih dibandingkan dengan orang lain.
            Minggu-minggu awal sekolah, aku berusaha membuktikan tekadku sekuat tenaga. Hasilnya, secara tidak resmi aku sudah menjadi murid kesayangan “Miss Cantik”, guru bahasa Inggris kami, disebabkan oleh kecakapanku ber-“structure and grammar’ yang dinilainya lebih di atas rata-rata. Yah, itu merupakan kemampuan yang sudah dipaksakan orang tuaku untuk kumiliki sejak kelas lima SD. Namun, mungkin itulah hal terbaik yang kudapati dari pelajaran di sini. Pelajaran-pelajaran dasar yang mulanya dengan mudah dapat kupahami karena masih berbasis pada pelajaran SD, mulai ditingkatkan levelnya. Aku pun gelagapan dengan cepatnya akselerasi bab-bab pelajaran yang dicekokkan guru-guru kepada kami. Sama halnya dengan pelajaran yang baru aku temui sekarang. Fisika, pecahan Ilmu Pengetahuan Alam, dengan konsep Gerak Lurus Beraturan dan Gerak Lurus Berubah Beraturannya yang sampai sekarang pun belum dapat kumengerti. Ekonomi, anak pelajaran IPS, dengan prinsip-prinsip menurut Keynes, Adam Smith, dan ekonom lainnya yang tak kukenal sama sekali. Sebenarnya, aku bisa saja bertanya kepada temanku yang kursus di bimbel tentang hal-hal semacam itu. Tapi kesuperioranku tegas-tegas melarang aku untuk bertanya karena adanya pasokan kebanggaan sebagai sang nomor satu yang masih terpatri dalam dada ini. Malu rasanya, harus bertanya kepada orang yang kemampuannya masih di bawahku, begitu kata batinku. Namun rasa gengsi itu tak bertahan lama, karena aku sudah semakin bingung dengan soal-soal persamaan linier matematika, dan mulai terlontarlah pertanyaan-pertanyaan kepada teman sekelasku, termasuk kepada kesembilan saingan terberatku.
            Siapa sangka bahwa pertanyaan-pertanyaan itu malah memancing rasa ketergantunganku pada orang lain. Dan mulailah aku mencontek. Hal yang selama ini kuanggap tabu, akhirnya kuhalalkan sendiri. Namun itu tak ada pengaruhnya bagi nilai-nilaiku. Aku yang biasanya alergi dengan angka enam ke bawah, akhirnya harus merelakan rapor bulananku berawan mendung. Bahkan dua ulangan fisika pertamaku mendapat nilai lima! Kulirik rapor teman-temanku, sebagian bernasib sama sepertiku dan aku masih bisa berbangga hati karena bukan hanya aku yang kecewa dengan nilai-nilai ini. Masih shock dengan pelajaran baru, hibur hatiku. Meskipun demikian, aku tetap merasa memiliki lebih banyak kepandaian dibanding mereka.
            Akhirnya tibalah saat pembagian rapor caturwulan pertama. Aku dan teman-teman yang sedang berkumpul di lapangan, sudah sejak tadi sibuk menebak-nebak siapa yang akan menjadi jawara kelas kami.
            “Ah, pasti kamu deh, Nia,” seorang teman menunjukku. Blup, gelembung besar kebanggaan menyembul di permukaan hatiku.
            “Iya, kamu kan juara satu terus waktu SD. Nggak bisa dikalahin deh, pokoknya,” dia semakin memujiku. Blup-blup-blup, bertambah banyaklah gelembung-gelembung gede itu. Mata teman-temanku yang lain berbinar dan mulut mereka membulat ber-ooh. Aku tersenyum saja menanggapinya padahal hati ini sudah ditenggelamkan buih-buih kebanggaan yang terus meluber.
            Setelah lama ditunggu, wali kelasku akhirnya datang juga dengan membawa segepok rapor dan tiga piagam penghargaan. Beliau mengawali seremoni pembagian rapor ini dengan “sepatah-dua patah kata” yang seperti menjiplak ceramah kepala SD-ku setiap kali upacara bendera. Dan bagian paling menyenangkannya adalah saat beliau memberitahukan berapa lama liburan akan berlangsung.
            Suasana kelas berubah menjadi tegang saat wali kelasku itu menyudahi wejangannya. Beliau mengeluarkan tiga rapor biru dan menyelipkan piagam di antara halaman-halaman ketiga rapor itu. Hatiku semakin tidak menentu saat beliau memanggil peraih ranking ketiga. Tepat seperti inilah momen yang kubenci dari setiap akhir cawu. Perasaan yang campur aduk antara cemas dan tegang, serta perut yang bergolak karena stres mulai menghantam diriku. Tapi, selama ini semua penderitaan itu diakhiri dengan senyum bahagiaku dengan piagam juara satu yang terselip di raporku. Kemudian... juara kedua maju ke depan kelas, dia adalah teman SD-ku sekaligus rival yang tak pernah kuanggap berbahaya sejak awal. Dengan harapan yang semakin membuncah, aku meremas-remas tanganku. Saingan semasa SD-ku saja bisa meraih ranking dua, apalagi aku, yang notabene sebagai juara bertahannya. Lalu nama penyabet jawara kelas ini sekaligus juara umum kelas satu disebutkan, tapi itu bukan namaku, melainkan nama cewek jangkung peraih NEM tertinggi itu. Kurasakan jantungku seperti mau melorot ke rongga perut dan keringat dingin mulai mengucuri leherku. Ah tidak, masih ada peringkat lima besar, aku kuat-kuatkan saja membesarkan hati, Dan seperti tahu apa yang kupikirkan, wali kelasku langsung menyebutkan nama-nama siswa yang mendapat peringkat empat, lima, enam... hingga sepuluh besar. Badanku semakin lemas mendengarnya. Tak sanggup kutatap mata teman-temanku yang tak kuperbolehkan melihat apalagi menyentuh raporku. Apa pandangan mereka sekarang, saat tahu bahwa aku, yang terbiasa memeperoleh gelar juara, malah mendapat peringkat yang tidak sepadan dengan pujian orang terhadapku. Lalu cepat-cepat aku berlari pulang tanpa mempedulikan tawa bahagia para peraih juara kelas itu.
            Tanganku masih memegangi buku rapor yang kini bertuliskan angka-angka yang sangat mengecewakanku. Mataku yang berair masih saja memandangi buku itu lekat-lekat seakan takut ada bagian yang tidak kelihatan dan akhirnya tak dapat kubaca. Sekarang aku tengah berbaring di kamarku yang terasa sempit menghimpit hati dan pikiranku yang kalut. Pintu kamar sudah kukunci sejak tadi, sejak aku membantingnya kasar setelah terlebih dahulu membuat keributan karena menabrak jatuh adikku dalam ketergesaanku menuju kamar. Ibu dan adik-adik sudah mengetuk pintu berulang kali sampai akhirnya berhenti karena tidak ada respons dariku. Lalu, hal yang kutakutkan tiba. Suara motor ayah dan bunyi derit pagar yang dibuka membuatku menegakkan kepala. Ah, pasti sekarang ibu dan adik-adik sudah mengadukan keadaanku kepada ayah. Semakin tajam saja rasanya telingaku ini saat mendengar langkah-langkah ayahku mendekat. Dan benar saja, tiba-tiba beliau mengetuk pintu dan memanggil namaku. Di depan ayah, aku tak pernah berani membantah apalagi menentang perintahnya, jadi aku beringsut dari tempat tidur dan perlahan membuka pintu.
            Tak ada perubahan pada ekspresi wajah ayahku saat beliau melihat mata anaknya yang merah dan membengkak. Ayah meminta buku raporku dan aku berbalik ke tempat tidur untuk mengambilnya. Hanya alis matanya saja yang sedikit terangkat saat beliau melihat isi raporku, selebihnya roman mukanya tidak berubah. Ayah lalu mendudukkanku di kursi meja belajar. Sembari menatap anaknya, ia bertanya,
             “Mengapa Nia menangis? Apa dengan menangis, rapor Nia akan mengubah nilainya sendiri?”. Aku menggeleng lemah lalu menjawab,
            “Nia sudah sangat pede akan mendapat ranking di kelas, tapi ternyata... ternyata...,” aku mulai sesenggukan. Ayah membiarkan tangisku reda lalu melanjutkan,
            “Nia ingat, kan penyebab iblis dulu diusir dari surga? Dia diusir Allah karena tidak mau bersujud kepada Nabi Adam, karena dia mengakui bahwa dirinya jauh lebih mulia daripada Nabi Adam yang hanya berasal dari tanah. Dengan kata lain, dia telah berlaku sombong, dan Allah tidak berkenan dengan perilakunya itu sehingga diusirlah ia dari surga.” Aku tersentak mendengar kata-kata terakhir ayahku. Dan seolah mengetahui pertanyaan dalam hatiku, ayah kembali berkata,
            “Iblis diusir dari surga bukan karena ketidakpatuhannya dalam beribadah, melainkan karena dia telah bersikap sombong dan menganggap mulia dirinya sendiri. Apa Nia tahu bahwa Nia mempunyai kecenderungan untuk berbuat angkuh?” Aku kembali terkejut mendengar perkataan ayahku dan tidak tahu harus menjawab apa.
            “Ayah sudah lama memperhatikan sifat Nia ini. Ayah sudah mulai khawatir dari sedikitnya jumlah teman-teman SD yang Nia undang ke rumah dan itu pun Nia batasi, hanya yang pintar saja yang dibukakan pintu. Lalu, gelar juara enam tahun berturut-turut yang Nia sebut ke mana-mana. Seharusnya Nia dapat bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, karena bisa saja Allah mencabut semua nikmat itu dalam sekejap, termasuk kecerdasan Nia. Ayah ingin, semua ini menjadi pelajaran bagi Nia. Jujur, ayah kecewa dengan nilai-nilaimu, tapi ayah akan lebih kecewa lagi jika Nia tidak bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Anggaplah ini semua sebagai bagian dari kasih sayang Allah yang menegurmu karena Nia lalai bersyukur pada-Nya.”
            Ayah lalu mengusap air mata yang berleleran di pipiku dan meninggalkanku sendirian di kamar untuk merenung. Kata-kata nasehat ayah tadi masih terngiang di telingaku. Benarkah aku sombong? Aku mengecek memori di otakku yang tiba-tiba menjadi jernih setelah satu jam lebih menangis. Lalu terbayanglah wajah kesal teman-temanku yang sering meminta diajari tentang tenses tapi aku selalu menolaknya. Kemudian,gelembung besar kebanggaan yang senantiasa memenuhi rongga dadaku. Benarkah itu suatu kebanggaan? Atau sebuah kesombongan? Sebuah bibit keangkuhan yang nantinya akan menjauhkanku dari surga Allah? Tidaaak... Tolong aku, ya Allah!
            Aku tersentak lagi. Sekarang aku memohon pertolongan Allah, sementara untuk duduk sebentar setelah sholat, menengadahkan tangan untuk mensyukuri segala nikmat-Nya pun aku tak pernah. Bagaimana Allah akan menolongku? Kesadaran demi kesadaran mulai menghantamku. Betapa pelitnya aku dalam membagi ilmu kepada orang lain, sementara aku tahu bahwa ilmu yang bermanfaat adalah penyambung pahalaku di akhirat kelak. Betapa sombongnya aku yang selalu menganggap rendah orang lain padahal aku bahkan tak lebih baik daripada mereka. Baru kusadari, betapa durhakanya aku karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah kumiliki dan tak pernah berusaha mensyukurinya. Aku pun kembali larut dalam air mata. Namun, entah mengapa kini aku merasa lebih lega...
            Caturwulan kedua kucoba hadapi dengan lebih banyak persiapan. Nilai-nilaiku yang mengecewakan pada cawu yang lalu membutuhkan banyak peningkatan. Aku sudah tidak malu-malu lagi untuk bertanya kepada teman-teman yang dulu kuanggap tak selevel denganku. Aku juga mulai rela dan berusaha ikhlas untuk mengajarkan apa yang kutahu kepada siapa saja, termasuk meminjamkan buku-buku catatan dan PR-ku yang dulu kuanggap keramat dan tak kuperbolehkan dipinjam siapa pun.
            Hasil dari usahaku mulai terlihat. Walaupun sempat stagnan di peringkat yang sama pada cawu kedua, akhirnya aku kembali mendapatkan tempat di posisi tiga teratas di kelas. Namun, tak ada satu pun gelar juara pertama yang tertoreh di raporku semasa SLTP. Aku sudah cukup puas sebenarnya dengan meraih tempat kedua apalagi mengingat bahwa aku dulu pernah terpuruk di peringkat yang sungguh tak pernah kubayangkan. Akan tetapi, menjelang UAN SLTP aku kembali tersadarkan. Teman sebangkuku tiba-tiba menegur saat aku menyerahkan tugas akhir yang kuketik bermalam-malam sebelumnya kepada temanku yang lain yang belum mengerjakan apa-apa.
            “Kamu tidak akan mengajari dia sesuatu hanya dengan menyerahkan tugasmu begitu saja. Seharusnya kamu mengajarkannya, bukan hanya memberikan tugasmu tanpa penjelasan apa pun! Apa kamu tidak kasihan dengan dirimu sendiri yang sudah berhari-hari mengerjakan tugas, tapi akhirnya tugasmu itu melayang ke tangan orang yang sejak awal niatnya hanya mencontek?”
            Cukup panjang kalimat yang meninggalkan bekas di hatiku. Ternyata begitu rupanya... Aku telah salah menafsirkan makna keikhlasan selama ini. Aku merasa telah berbuat amal  yang ikhlas dengan menyerahkan tugas dan PR-ku kepada teman-teman yang lain tanpa bisa mengajarkan kepada mereka satu kata pun dalam setiap tugas-tugas itu. Ah, temanku... terima kasih atas perantaraanmu dalam penyampaian hidayah kedua kepadaku. Mungkin inilah sebabnya Allah masih belum berkenan mempercayakan posisi teratas di kelas untukku, hingga waktu kelulusan SLTP tiba.
            Alhamdulillah, syukurku kepada Allah saat aku menginjak bangku SMA. Betapa Sang Maha Pemurah telah menganugrahkan begitu banyak nikmat selama tiga tahun aku belajar di sana. Pertemuanku dengan ukhti-ukhti yang begitu perhatian, mendorongku pada sebuah hidayah terbesar yang kurasakan, yaitu komitmenku untuk mengenakan pakaian takwa. Indah benar saat kukenang masa-masa penemuan identitas diriku sebagai seorang muslimah. Namun tak bisa lekang dari ingatanku, kedatangan hidayah pertama yang diamanahkan melalui lisan ayahku. Kesadaranku tentang begitu tipisnya batas antara sebuah kebanggaan dan kepercayaan diri dengan hakikat suatu kesombongan. Keangkuhan yang membuatku menuai sebuah peringatan dari Allah mengenai pentingnya syukur dan penjagaan diri dari bahaya penyakit hati ini. Walaupun hijrah terbesarku kulakukan saat memakai jilbab, selalu tetap tertanam dalam hatiku bahwa hijrah menuju syukur kepada Allah adalah hijrah yang menorehkan bekas yang begitu mendalam pada hidupku. Karena bukankah penyakit sombong itu dapat melunturkan pahala perbuatan baikku yang lain, termasuk pahala dari busana takwaku ini? Oleh karena itu, sampai sekarang aku masih berusaha tetap istiqomah pada hidayah yang telah digariskan Allah sebagai wujud rahmat-Nya kepadaku. Semoga Allah senantiasa menaungi jalanku menuju ridho-Nya. Amiin...
~~ oOo ~~
Abdullah bin Mas’ud ra. menerangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong, meskipun hanya sebesar zarrah.”

(HR. Muslim)

Senin, 13 Oktober 2014

[Dapur Uyung] Resep Hokben-hokbenan


Beberapa pekan lalu, Ayang sempet posting foto hokben-hokbenan yang jadi menu makan kami di rumah. Aq memang hobiiiiii banget makan di hokben kalau diajak jalan-jalan ke mall. Ke BP maemnya hokben, ke Mangdu Mall juga maem hokben. Tapi lumayan nguras kantong juga kalau hobi ini diturutin. Jadilah stok fillet dada ayam di freezer beserta bahan-bahan yang ada di kulkas dipake buat bikin set menu lengkap ini.

Bahan-bahan:
Chicken Teriyaki:
300 gram fillet dada ayam, potong kecil-kecil kurang lebih 2x1 cm
1/2 bawang bombay, iris melintang
2 siung bawang putih, cincang halus
1 sachet saus teriyaki
2 sdm kecap manis
2 sdm saus sambal
minyak untuk menumis
air, garam, dan merica secukupnya

Salad:
1 buah wortel, potong korek api
1/4 kol, buang tulangnya, iris tipis
2 sdm gula
1 sdm air jeruk nipis/cuka makan

Tempe tempura:
1/2 papan tempe, potong sesuai selera
100 gram tepung bumbu
100 gram tepung roti
minyak untuk menggoreng
air secukupnya

Cara Membuat:
1. Salad: Campurkan irisan wortel, gula, air jeruk nipis/cuka makan. Aduk rata, simpan di kulkas kurang lebih 1 jam.
2. Chicken Teriyaki: Tumis bawang bombay dan bawang putih hingga harum. Masukkan fillet ayam, aduk sampai ayam berubah warna. Tambahkan saus teriyaki, kecap manis, saus sambal, garam dan merica. Tambahkan sedikit air, masak hingga ayam matang.
3. Tempe tempura: Celupkan potongan tempe ke dalam campuran tepung bumbu dan air. Gulingkan ke tepung roti. Ulangi lagi hingga tempe terbalut sempurna. Goreng dalam minyak yang sudah dipanaskan.
4. Tata irisan kol dan acar wortel, chicken teriyaki dan tempe tempura. Sajikan dengan nasi hangat dan mayones/saus sambal bila suka. Selamat menikmati!

Mudah ya, tinggal tumis-tumis dan goreng-goreng. Tempenya bisa diganti tahu, udang atau fillet ikan. pokoknya yang ada di kulkas, hehehe. Selamat mencoba!