Sebuah cerpen yang sudah lamaaaaa sekali q tulis. Berdasarkan kisah nyata dan pernah diikutsertakan dalam lomba penulisan cerpen Tahun Baru Hijriyah. Semoga bisa memberikan hikmah dan menjadi perantara q bersyukur atas hidayah yang telah dikaruniakan Alloh kepada q.
HIDAYAH
PERTAMAKU
Deru
motor ayahku terdengar berbaur dalam kungkungan angkot dan kendaraan pribadi
yang melaju di jalan sempit ini. Dengan lincah, ayah meliuk-liukkan motornya di
celah antarkendaraan. Selang beberapa menit, kami berhenti. Aku menapak turun
dari motor. Setelah mencium tangan ayah dan mendengarkan kalimat “jangan nakal
di sekolah”-nya sebentar, aku mulai melangkah menuju halaman yang
dilatarbelakangi oleh sebuah gerbang. Langkahku semakin ringan dan gerbang itu
seolah membuka untukku. Yah, inilah hari pertamaku menjadi siswi SLTP. Sebuah
SLTP yang menjadi incaran sejak aku bersekolah di SD dulu...
Aku
melewati gerbang sembari tersenyum. Ku edarkan pandangan kepada ratusan siswa
yang “bertebaran” di sekitar lapangan. Salam kenal, teman-teman baru, sapaku
dalam hati. Aku lalu menuju papan pengumuman besar yang dikerubungi
murid-murid. Papan pengumuman itu berdiri di depan ruangan yang pastilah
merupakan ruang guru, dengan kursi-kursi dan meja-meja kayu yang saling
berdempetan. Lembar-lembar kertas pembagian kelas sudah tertempel di papan
hitam itu dan aku harus mendongak untuk membacanya. Yah, dengan tubuhku yang
mungil ini dan kerumunan siswa di sekelilingku, aku memang perlu menengadahkan
kepala, sambil berjinjit kalau perlu.
Bingung
memelototi nama-nama yang berbaris seperti semut itu, aku pun berpaling pada
kertas lain yang tertempel di sebelahnya. Daftar peringkat NEM tertinggi yang
diterima si SLTP bla...bla...bla..., bunyi judul di atasnya. Urutan pertama 45,
25 dan 0, 20 poin di bawahnya, tertera namaku di peringkat kedua. Ah,
seandainya saja nilai itu sama dengan NEM bayanganku saat cawu dua kelas enam
SD dulu, tentu akulah yang akan menduduki posisi pertama itu, dengan kelebihan
beberapa desimal poin. Tiga orang anak di sebelahku sedang menunjuk-nunjuk
kertas itu dengan decak kagum karena nilai ebtanas yang tertera di sana. Untuk
sesaat, aku bangga karena orang yang namanya mereka tunjuk itu adalah diriku.
Dan itulah kebanggaan pertamaku di sekolah ini.
Kebanggaan
keduaku terjadi pada saat perkenalan diri di kelas. Ketika aku menyebutkan
namaku, kulihat beberapa anak merapatkan
kepala dan berbisik-bisik. Ah, tentu mereka sekarang tahu bahwa akulah si
peringkat kedua itu. Dengan sangat percaya diri, aku kembali ke mejaku yang
harus kubagi berdua dengan seorang anak perempuan yang baru beberapa hari kukenal.
Selang beberapa saat, seorang cewek ABG bertubuh jangkung maju untuk berkenalan
dengan seluruh penghuni kelas. Dari namanya, aku tahu dialah sang nomor satu
itu. Kudengar bisik-bisik yang lebih keras dari sekitarku. Ia pun kembali ke
bangkunya di belakang dengan diiringi tatapan mata anak-anak di kelas, termasuk
aku. Satu persatu, aku melihat anak-anak lain peraih sepuluh besar NEM
tertinggi maju berkenalan. Nyatalah bagiku, kelas 1.4 ini adalah kelas
unggulan, kelas pilihan. Ini bisa terlihat dari banyaknya calon saingan yang
nantinya pasti akan menghalangi langkahku untuk merebut posisi teratas di kelas
bahkan di seluruh kelas satu.
Ah,
menjadi nomor satu adalah hal yang sudah tertanam dalam pikiranku sejak
menginjak bangku sekolah. Kedudukanku sebagai anak pertama dalam keluarga, yang
lebih didahulukan kepentingannya, menjadi akar obsesiku. Yah, itu adalah
obsesiku, umm... obsesi orang tuaku juga sebetulnya, karena sejak balita aku sudah
dididik dengan keras sehingga aku bahkan sudah lancar membaca koran sebelum
duduk di kelas satu SD. Kecenderunganku untuk menjadi favorit guru membuatku
semakin nyaman berada di sekolah, bahkan dulu aku pernah diminta menjadi
asisten guruku untuk mengajar teman-teman yang lain mengeja kata-kata di papan
tulis, padahal saat itu umurku baru tujuh tahun. Predikat juara satu setiap
caturwulan selama enam tahun pendidikanku di sekolah dasar membuatku merasa
lebih superior daripada yang lain.
Oh
ya, belum kukatakan bahwa aku benci dinomorduakan. Begitu bencinya sampai aku
hampir-hampir tak akan bisa menerima sebuah kekalahan. Dan kini, aku tidak
terima dijadikan peringkat kedua walaupun itu hanya tertera di sebuah kertas
pengumuman. Sudah saaatnya bagiku untuk menunjukkan bahwa aku memang punya
kemampuan lebih dibandingkan dengan orang lain.
Minggu-minggu
awal sekolah, aku berusaha membuktikan tekadku sekuat tenaga. Hasilnya, secara
tidak resmi aku sudah menjadi murid kesayangan “Miss Cantik”, guru bahasa Inggris
kami, disebabkan oleh kecakapanku ber-“structure and grammar’ yang dinilainya
lebih di atas rata-rata. Yah, itu merupakan kemampuan yang sudah dipaksakan
orang tuaku untuk kumiliki sejak kelas lima SD. Namun, mungkin itulah hal
terbaik yang kudapati dari pelajaran di sini. Pelajaran-pelajaran dasar yang
mulanya dengan mudah dapat kupahami karena masih berbasis pada pelajaran SD,
mulai ditingkatkan levelnya. Aku pun gelagapan dengan cepatnya akselerasi
bab-bab pelajaran yang dicekokkan guru-guru kepada kami. Sama halnya dengan
pelajaran yang baru aku temui sekarang. Fisika, pecahan Ilmu Pengetahuan Alam,
dengan konsep Gerak Lurus Beraturan dan Gerak Lurus Berubah Beraturannya yang
sampai sekarang pun belum dapat kumengerti. Ekonomi, anak pelajaran IPS, dengan
prinsip-prinsip menurut Keynes, Adam Smith, dan ekonom lainnya yang tak kukenal
sama sekali. Sebenarnya, aku bisa saja bertanya kepada temanku yang kursus di
bimbel tentang hal-hal semacam itu. Tapi kesuperioranku tegas-tegas melarang
aku untuk bertanya karena adanya pasokan kebanggaan sebagai sang nomor satu
yang masih terpatri dalam dada ini. Malu rasanya, harus bertanya kepada orang
yang kemampuannya masih di bawahku, begitu kata batinku. Namun rasa gengsi itu
tak bertahan lama, karena aku sudah semakin bingung dengan soal-soal persamaan
linier matematika, dan mulai terlontarlah pertanyaan-pertanyaan kepada teman
sekelasku, termasuk kepada kesembilan saingan terberatku.
Siapa
sangka bahwa pertanyaan-pertanyaan itu malah memancing rasa ketergantunganku
pada orang lain. Dan mulailah aku mencontek. Hal yang selama ini kuanggap tabu,
akhirnya kuhalalkan sendiri. Namun itu tak ada pengaruhnya bagi nilai-nilaiku.
Aku yang biasanya alergi dengan angka enam ke bawah, akhirnya harus merelakan
rapor bulananku berawan mendung. Bahkan dua ulangan fisika pertamaku mendapat
nilai lima! Kulirik rapor teman-temanku, sebagian bernasib sama sepertiku dan
aku masih bisa berbangga hati karena bukan hanya aku yang kecewa dengan
nilai-nilai ini. Masih shock dengan pelajaran baru, hibur hatiku. Meskipun
demikian, aku tetap merasa memiliki lebih banyak kepandaian dibanding mereka.
Akhirnya
tibalah saat pembagian rapor caturwulan pertama. Aku dan teman-teman yang
sedang berkumpul di lapangan, sudah sejak tadi sibuk menebak-nebak siapa yang
akan menjadi jawara kelas kami.
“Ah,
pasti kamu deh, Nia,” seorang teman menunjukku. Blup, gelembung besar kebanggaan
menyembul di permukaan hatiku.
“Iya,
kamu kan juara satu terus waktu SD. Nggak bisa dikalahin deh, pokoknya,” dia
semakin memujiku. Blup-blup-blup, bertambah banyaklah gelembung-gelembung gede
itu. Mata teman-temanku yang lain berbinar dan mulut mereka membulat ber-ooh.
Aku tersenyum saja menanggapinya padahal hati ini sudah ditenggelamkan
buih-buih kebanggaan yang terus meluber.
Setelah
lama ditunggu, wali kelasku akhirnya datang juga dengan membawa segepok rapor
dan tiga piagam penghargaan. Beliau mengawali seremoni pembagian rapor ini
dengan “sepatah-dua patah kata” yang seperti menjiplak ceramah kepala SD-ku
setiap kali upacara bendera. Dan bagian paling menyenangkannya adalah saat
beliau memberitahukan berapa lama liburan akan berlangsung.
Suasana
kelas berubah menjadi tegang saat wali kelasku itu menyudahi wejangannya.
Beliau mengeluarkan tiga rapor biru dan menyelipkan piagam di antara
halaman-halaman ketiga rapor itu. Hatiku semakin tidak menentu saat beliau
memanggil peraih ranking ketiga. Tepat seperti inilah momen yang kubenci dari
setiap akhir cawu. Perasaan yang campur aduk antara cemas dan tegang, serta perut
yang bergolak karena stres mulai menghantam diriku. Tapi, selama ini semua
penderitaan itu diakhiri dengan senyum bahagiaku dengan piagam juara satu yang
terselip di raporku. Kemudian... juara kedua maju ke depan kelas, dia adalah
teman SD-ku sekaligus rival yang tak pernah kuanggap berbahaya sejak awal.
Dengan harapan yang semakin membuncah, aku meremas-remas tanganku. Saingan
semasa SD-ku saja bisa meraih ranking dua, apalagi aku, yang notabene sebagai
juara bertahannya. Lalu nama penyabet jawara kelas ini sekaligus juara umum
kelas satu disebutkan, tapi itu bukan namaku, melainkan nama cewek jangkung
peraih NEM tertinggi itu. Kurasakan jantungku seperti mau melorot ke rongga
perut dan keringat dingin mulai mengucuri leherku. Ah tidak, masih ada peringkat
lima besar, aku kuat-kuatkan saja membesarkan hati, Dan seperti tahu apa yang
kupikirkan, wali kelasku langsung menyebutkan nama-nama siswa yang mendapat
peringkat empat, lima, enam... hingga sepuluh besar. Badanku semakin lemas
mendengarnya. Tak sanggup kutatap mata teman-temanku yang tak kuperbolehkan
melihat apalagi menyentuh raporku. Apa pandangan mereka sekarang, saat tahu
bahwa aku, yang terbiasa memeperoleh gelar juara, malah mendapat peringkat yang
tidak sepadan dengan pujian orang terhadapku. Lalu cepat-cepat aku berlari
pulang tanpa mempedulikan tawa bahagia para peraih juara kelas itu.
Tanganku
masih memegangi buku rapor yang kini bertuliskan angka-angka yang sangat
mengecewakanku. Mataku yang berair masih saja memandangi buku itu lekat-lekat
seakan takut ada bagian yang tidak kelihatan dan akhirnya tak dapat kubaca.
Sekarang aku tengah berbaring di kamarku yang terasa sempit menghimpit hati dan
pikiranku yang kalut. Pintu kamar sudah kukunci sejak tadi, sejak aku
membantingnya kasar setelah terlebih dahulu membuat keributan karena menabrak
jatuh adikku dalam ketergesaanku menuju kamar. Ibu dan adik-adik sudah mengetuk
pintu berulang kali sampai akhirnya berhenti karena tidak ada respons dariku.
Lalu, hal yang kutakutkan tiba. Suara motor ayah dan bunyi derit pagar yang
dibuka membuatku menegakkan kepala. Ah, pasti sekarang ibu dan adik-adik sudah
mengadukan keadaanku kepada ayah. Semakin tajam saja rasanya telingaku ini saat
mendengar langkah-langkah ayahku mendekat. Dan benar saja, tiba-tiba beliau mengetuk
pintu dan memanggil namaku. Di depan ayah, aku tak pernah berani membantah
apalagi menentang perintahnya, jadi aku beringsut dari tempat tidur dan
perlahan membuka pintu.
Tak
ada perubahan pada ekspresi wajah ayahku saat beliau melihat mata anaknya yang
merah dan membengkak. Ayah meminta buku raporku dan aku berbalik ke tempat
tidur untuk mengambilnya. Hanya alis matanya saja yang sedikit terangkat saat
beliau melihat isi raporku, selebihnya roman mukanya tidak berubah. Ayah lalu
mendudukkanku di kursi meja belajar. Sembari menatap anaknya, ia bertanya,
“Mengapa Nia menangis? Apa dengan menangis, rapor
Nia akan mengubah nilainya sendiri?”. Aku menggeleng lemah lalu menjawab,
“Nia
sudah sangat pede akan mendapat ranking di kelas, tapi ternyata...
ternyata...,” aku mulai sesenggukan. Ayah membiarkan tangisku reda lalu
melanjutkan,
“Nia
ingat, kan penyebab iblis dulu diusir dari surga? Dia diusir Allah karena tidak
mau bersujud kepada Nabi Adam, karena dia mengakui bahwa dirinya jauh lebih
mulia daripada Nabi Adam yang hanya berasal dari tanah. Dengan kata lain, dia
telah berlaku sombong, dan Allah tidak berkenan dengan perilakunya itu sehingga
diusirlah ia dari surga.” Aku tersentak mendengar kata-kata terakhir ayahku.
Dan seolah mengetahui pertanyaan dalam hatiku, ayah kembali berkata,
“Iblis
diusir dari surga bukan karena ketidakpatuhannya dalam beribadah, melainkan
karena dia telah bersikap sombong dan menganggap mulia dirinya sendiri. Apa Nia
tahu bahwa Nia mempunyai kecenderungan untuk berbuat angkuh?” Aku kembali
terkejut mendengar perkataan ayahku dan tidak tahu harus menjawab apa.
“Ayah
sudah lama memperhatikan sifat Nia ini. Ayah sudah mulai khawatir dari
sedikitnya jumlah teman-teman SD yang Nia undang ke rumah dan itu pun Nia
batasi, hanya yang pintar saja yang dibukakan pintu. Lalu, gelar juara enam
tahun berturut-turut yang Nia sebut ke mana-mana. Seharusnya Nia dapat
bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, karena bisa saja Allah
mencabut semua nikmat itu dalam sekejap, termasuk kecerdasan Nia. Ayah ingin,
semua ini menjadi pelajaran bagi Nia. Jujur, ayah kecewa dengan nilai-nilaimu,
tapi ayah akan lebih kecewa lagi jika Nia tidak bisa mengambil hikmah dari
kejadian ini. Anggaplah ini semua sebagai bagian dari kasih sayang Allah yang
menegurmu karena Nia lalai bersyukur pada-Nya.”
Ayah
lalu mengusap air mata yang berleleran di pipiku dan meninggalkanku sendirian
di kamar untuk merenung. Kata-kata nasehat ayah tadi masih terngiang di
telingaku. Benarkah aku sombong? Aku mengecek memori di otakku yang tiba-tiba
menjadi jernih setelah satu jam lebih menangis. Lalu terbayanglah wajah kesal
teman-temanku yang sering meminta diajari tentang tenses tapi aku selalu menolaknya. Kemudian,gelembung besar
kebanggaan yang senantiasa memenuhi rongga dadaku. Benarkah itu suatu
kebanggaan? Atau sebuah kesombongan? Sebuah bibit keangkuhan yang nantinya akan
menjauhkanku dari surga Allah? Tidaaak... Tolong aku, ya Allah!
Aku
tersentak lagi. Sekarang aku memohon pertolongan Allah, sementara untuk duduk
sebentar setelah sholat, menengadahkan tangan untuk mensyukuri segala
nikmat-Nya pun aku tak pernah. Bagaimana Allah akan menolongku? Kesadaran demi
kesadaran mulai menghantamku. Betapa pelitnya aku dalam membagi ilmu kepada
orang lain, sementara aku tahu bahwa ilmu yang bermanfaat adalah penyambung
pahalaku di akhirat kelak. Betapa sombongnya aku yang selalu menganggap rendah
orang lain padahal aku bahkan tak lebih baik daripada mereka. Baru kusadari,
betapa durhakanya aku karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah
kumiliki dan tak pernah berusaha mensyukurinya. Aku pun kembali larut dalam air
mata. Namun, entah mengapa kini aku merasa lebih lega...
Caturwulan
kedua kucoba hadapi dengan lebih banyak persiapan. Nilai-nilaiku yang mengecewakan
pada cawu yang lalu membutuhkan banyak peningkatan. Aku sudah tidak malu-malu
lagi untuk bertanya kepada teman-teman yang dulu kuanggap tak selevel denganku.
Aku juga mulai rela dan berusaha ikhlas untuk mengajarkan apa yang kutahu
kepada siapa saja, termasuk meminjamkan buku-buku catatan dan PR-ku yang dulu
kuanggap keramat dan tak kuperbolehkan dipinjam siapa pun.
Hasil
dari usahaku mulai terlihat. Walaupun sempat stagnan di peringkat yang sama
pada cawu kedua, akhirnya aku kembali mendapatkan tempat di posisi tiga teratas
di kelas. Namun, tak ada satu pun gelar juara pertama yang tertoreh di raporku
semasa SLTP. Aku sudah cukup puas sebenarnya dengan meraih tempat kedua apalagi
mengingat bahwa aku dulu pernah terpuruk di peringkat yang sungguh tak pernah
kubayangkan. Akan tetapi, menjelang UAN SLTP aku kembali tersadarkan. Teman
sebangkuku tiba-tiba menegur saat aku menyerahkan tugas akhir yang kuketik
bermalam-malam sebelumnya kepada temanku yang lain yang belum mengerjakan
apa-apa.
“Kamu
tidak akan mengajari dia sesuatu hanya dengan menyerahkan tugasmu begitu saja.
Seharusnya kamu mengajarkannya, bukan hanya memberikan tugasmu tanpa penjelasan
apa pun! Apa kamu tidak kasihan dengan dirimu sendiri yang sudah berhari-hari
mengerjakan tugas, tapi akhirnya tugasmu itu melayang ke tangan orang yang
sejak awal niatnya hanya mencontek?”
Cukup
panjang kalimat yang meninggalkan bekas di hatiku. Ternyata begitu rupanya...
Aku telah salah menafsirkan makna keikhlasan selama ini. Aku merasa telah
berbuat amal yang ikhlas dengan
menyerahkan tugas dan PR-ku kepada teman-teman yang lain tanpa bisa mengajarkan
kepada mereka satu kata pun dalam setiap tugas-tugas itu. Ah, temanku... terima
kasih atas perantaraanmu dalam penyampaian hidayah kedua kepadaku. Mungkin
inilah sebabnya Allah masih belum berkenan mempercayakan posisi teratas di
kelas untukku, hingga waktu kelulusan SLTP tiba.
Alhamdulillah,
syukurku kepada Allah saat aku menginjak bangku SMA. Betapa Sang Maha Pemurah
telah menganugrahkan begitu banyak nikmat selama tiga tahun aku belajar di
sana. Pertemuanku dengan ukhti-ukhti yang begitu perhatian, mendorongku pada
sebuah hidayah terbesar yang kurasakan, yaitu komitmenku untuk mengenakan
pakaian takwa. Indah benar saat kukenang masa-masa penemuan identitas diriku
sebagai seorang muslimah. Namun tak bisa lekang dari ingatanku, kedatangan
hidayah pertama yang diamanahkan melalui lisan ayahku. Kesadaranku tentang
begitu tipisnya batas antara sebuah kebanggaan dan kepercayaan diri dengan
hakikat suatu kesombongan. Keangkuhan yang membuatku menuai sebuah peringatan
dari Allah mengenai pentingnya syukur dan penjagaan diri dari bahaya penyakit
hati ini. Walaupun hijrah terbesarku kulakukan saat memakai jilbab, selalu
tetap tertanam dalam hatiku bahwa hijrah menuju syukur kepada Allah adalah
hijrah yang menorehkan bekas yang begitu mendalam pada hidupku. Karena bukankah
penyakit sombong itu dapat melunturkan pahala perbuatan baikku yang lain,
termasuk pahala dari busana takwaku ini? Oleh karena itu, sampai sekarang aku
masih berusaha tetap istiqomah pada hidayah yang telah digariskan Allah sebagai
wujud rahmat-Nya kepadaku. Semoga Allah senantiasa menaungi jalanku menuju
ridho-Nya. Amiin...
~~ oOo ~~
Abdullah bin Mas’ud ra. menerangkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya terdapat sifat sombong, meskipun hanya sebesar zarrah.”
(HR. Muslim)